Tulisan berikut ini pernah diterbitkan salah satu tabloid pada tahun 2011.
Manis,
manis, manis. Ke manapun mata saya menjelajah di 8 penjuru angin
Bandara Pattimura, semua yang terlihat dapat diberi label ‘MANIS’.
Baik laki-laki atau perempuan. Tak salah sebutan 'Ambon Manise' itu
rupanya.
Jam 06.30
WIT saya tiba di Ambon setelah terbang dari Jakarta pada pukul 00.50
tadi. Memakan waktu 3 jam penerbangan plus 2 jam lompatan waktu dari
Indonesia Barat ke Indonesia Timur. Bingung, itu reaksi pertama saya
saat akan mendarat tadi. Pesawat kami kelihatannya agak buang-buang
waktu karena berputar mengitari pulau selama beberapa menit.
Ternyata, memang begitu prosedurnya. Ambon, yang juga dikenal dengan
nama Seram, berbentuk melingkar. Sehingga ketika akan mendarat,
pesawat harus berputar terlebih dahulu.
Hutan
alami di sekitar bandara sangat menyejukkan hati. Kontras benar
dengan bandara-bandara di wilayah Indonesia Barat, terutama
Bandara Polonia Medan yang memang berada di tengah kota. Pemandangan
yang tersaji, kalau tak tembok bangunan, ya jalan raya.
Udara di
sini agak gerah karena Ambon dikelilingi pantai di sepanjang
pulaunya. Sekilas, Ambon mirip dengan Nias. Hanya saja, kalau ditilik
lebih jauh, Ambon punya beragam produk pertanian, sayur dan
buah-buahan yang mampu mensuplai kebutuhan masyarakatnya. Berbeda
dengan Pulau Nias yang harus 'mengimpor' bahan makanan, terutama
hasil pertanian, dari Sibolga.
Saya harus
menunggu hampir tiga jam di bandara karena Bang Theo yang akan
menjadi guide saya di sini baru bisa menjemput jam 8 pagi. Malangnya,
ketika dalam perjalanan menuju bandara, ban sepeda motornya kempes.
Apa boleh buat, saya menunggu sampai jam 9 pagi.
Dari bandara
ke pusat kota, kami harus melewati setengah panjang pulau Seram. Di
beberapa pojok jalan, saya tak melewatkan kesempatan untuk
berfoto-foto. Sekitar satu jam, kami tiba di pusat kota yang terletak
di seberang bandara. Sebagian penduduk, terutama mahasiswa
Universitas Pattimura, menggunakan fasilitas kapal untuk menyeberang.
Transportasi
Air yang Antimacet
Ada beberapa
jenis kapal yang menyediakan jasa penyeberangan antara Sirimao (di
pusat kota Ambon) dan Bagoala (di dekat Universitas Pattimura).
Dulunya, hanya ada kapal layar yang mampu memuat 6 orang dengan
bayaran Rp 1.000 setiap orang. Namun, kalau hendak berlayar sendirian
maka harus membayar Rp 6.000. Jenis penyeberangan kedua adalah kapal
feri. Keberadaan kapal feri ini, sebenarnya, merusak mata pencaharian
para pemilik kapal layar karena lebih banyak orang yang menggunakan
fasilitas feri, terutama karena feri juga mampu memuat sepeda motor,
kendaraan yang umum dimiliki oleh masyarakat Ambon.
Saat ini,
Pemda Ambon, tampaknya latah dengan Jembatan Suramadu, juga tak
ketinggalan merintis jembatan yang kelak akan menghubungkan
Sirimao-Bagoala. Mungkin kelak kita tak akan melihat kapal-kapal
layar kecil aneka warna ini lagi. Padahal, kalau dicermati lagi,
transportasi air seperti kapal layar dan kapal feri justru membagi
konsentrasi kepadatan kendaraan di darat sehingga tak terlalu macet.
Mengenang
Jasa Pahlawan Perempuan dari Ambon
Kalau bicara
Ambon, mungkin kita akan selalu ingat pada sosok gagah di lembaran
seribu rupiah, Kapitan Pattimura. Agak sedikit terlupa dengan sosok
wanita gagah yang juga turun ke medan pertempuran pada zaman perang
melawan kolonial Belanda, Christina Martha Tiahahu. Jika tak
diingatkan oleh Bang Theo, saya pun pasti sudah melupakannya. Bahkan
seorang teman yang sudah pernah ke Ambon tak tahu kalau di sini ada
Taman Christina Martha Tiahahu. Taman tersebut berada di lokasi yang
cukup strategis sehingga dapat melihat seluruh kota Ambon. Patung
Christina menjulang kira-kira 8 m. Dibangun tahun 1977, sosok
Christina tampak gagah sekaligus feminim, menunjukkan dua sisi unik
kota Ambon.
Tragedi
Kemanusiaan di Pulau Seram
Ambon,
tak dapat dipungkiri adalah kota yang indah karena letak
geografisnya. Garis pantai di sepanjang pulau dengan pasir putih di
sebagian besar tepi pantai. Pantai Natsepa
di Maluku Tengah, salah satunya. Masih bersih dan cukup sejuk karena
banyak pepohonan di pinggirnya. Sementara di daratan, tekstur tanah
cukup beragam sehingga bermacam tanaman, mulai tanaman tahunan sampai
palawija tumbuh subur. Cantik, manise.
Namun,
kalau menyebut Ambon, kita juga pasti teringat dengan kerusuhan besar
yang terjadi sekitar 1999. Menurut Bang Theo, kejadian itu berawal
dari pertengkaran antara seorang supir oto (angkot) dengan seorang
preman yang minta uang pada si pengemudi oto. Karena tak rela
dipalak,
pengemudi oto itupun melawan sehingga terjadi perkelahian. Entah
siapa yang menyulut, perkelahian biasa itu dipelintir dan dipolitisir
menjadi konflik antaragama. Padahal, walau berbeda agama, pihak-pihak
yang bertikai masih satu suku. Perbedaan agama memecah ikatan-ikatan
yang lain. Persaudaraan, persahabatan, atas nama perbedaan agama,
semuanya hilang. Saat saya tanya pada Bang Theo apakah ia juga ikut
dalam perang antaragama saat itu, dengan wajah agak heran, ia
menjawab, ”Ya pastilah.” ”Jadi berapa orang yang sudah abang
bunuh waktu itu?” tanya saya lagi. ”Sekitar 10 orang,”
jawabnya. Perut saya tiba-tiba mual, rasanya sulit membayangkan pria
yang selalu bertutur kata halus ini bisa membunuh manusia sebanyak
itu. Dan waktu itu, masih menurut Bang Theo, mereka menggunakan
kelewang panjang, seperti yang dipakai Kapitan Pattimura, sebagai
senjata. Jadi kalau bertempur, yang disasar adalah bagian leher agar
musuh langsung mati. Betapa mengerikan.
Sampai
sekarang, aura kerusuhan 10 tahun silam itu masih terasa. Sepanjang
pulau Seram, masih terdapat puing-puing bangunan yang terbakar akibat
kerusuhan yang belum diperbaiki. Selain itu, aparat keamanan dan
pos-pos keamanan ada di setiap sudut pulau. Buatku, yang tak terbiasa
dengan pemandangan loreng-loreng, justru terasa agak menakutkan.
Menikmati
Wisata Kuliner Ambon
Karena
kunjungan saya tepat di bulan Desember, kota Ambon sudah berhias
sedemikian cantik. Pohon-pohon dan lampu natal
nampak di sana-sini. Tapi, ada yang unik dengan pohon natal di sini.
Warnanya tidak hijau tapi putih. Bahannya pun terbuat dari bahan yang
mungkin tidak terbayangkan oleh para konsumen pohon natal pabrikan;
dari sulur karung goni yang dijalin di kayu yang sudah dibentuk
seperti dahan pohon.
Selain
berwisata pantai dan mengunjungi Taman Christina Martha Tiahahu dan
Taman Pattimura, tak lupa kami mencicipi makanan khas Ambon: nasi
sagu yang disebut papeda. Siang itu kami
memesan papeda, ikan bakar merah plus colo-colo (cocolan yang terbuat
dari cili (cabai), bawang merah, tomat, dan lemon (jeruk nipis kecil
yang di Medan dibuat sebagai pelengkap rasa untuk air kelapa muda).
Sayurannya adalah kohu-kohu yang terbuat dari kelapa muda, sawi,
kacang panjang, bawang merah, cabai merah, kacang tumbuk (kacang
hijau yang direndam selama semalam dan dibungkus), dan lemon. Untuk
minumnya, kami cari yang segar-segar: teh gula es (ini sebutannya
untuk es teh manis-Jakarta dan sekitarnya, dan teh manis dingin/mandi
yang kita kenal di Medan).
Sesuai
dugaan, saya tak begitu suka dengan papeda karen teksturnya yang amat
licin dan lebih mirip lem kanji. Bang Theo dengan nikmatnya
menghabiskan papeda dengan cara makan yang unik: dua garpu dimasukkan
ke dalam mangkuk papeda yang terbuat dari tembikar, kemudian
diputar-putar agar papeda terjalin di antara dua garpu, kemudian
dimakan dengan cara dihisap sampai habis (slrup, ah!) Sementara saya
memesan keladi rebus sebagai pemasok karbohidrat untuk menambah
tenaga. Biaya makan di sini tak terlalu mahal. Seporsi besar papeda
dihargai Rp 5.000, sama dengan harga seporsi besar keladi rebus. Ikan
bakar plus colo-colo hanya Rp 10.000, dan Rp 5.000 juga untuk
kohu-kohu. Sehabis makan, kamipun melanjutkan perjalanan. Tak lupa
saya mengucapkan terima kasih kepada si ibu penjual makanan. Apa ya
ucapan terima kasih di Ambon? ”Danke,” ujar Bang Theo. ”Hah,
bahasa Jerman ya” tanya saya heran . ”Mungkin, peninggalan bahasa
Belanda yang dulu sempat lama menjajah Maluku,” jawabnya. ”Oh
iya, mungkin juga. Karena baik dalam Bahasa Jerman maupun Belanda,
terima kasih adalah danke,” jawab saya. Saya jadi teringat salah
seorang teman kantor yang baru pulang dari studi di Belanda yang
sangat gemar menggunakan kata ’danke’. Padahal, kalau hanya untuk
mengucapkan ’danke’ saja kenapa harus jauh-jauh ke Belanda, cukup
ke Ambon saja kan? Hehehe.
Namanya juga
jalan-jalan, pasti tak lengkap kalau tak ada oleh-oleh. Pertama, saya
mencari kaos oblong yang bertuliskan Ambon Manise. Tapi, saya tak mau
yang bergambar Kepulauan Maluku atau Kapitan Pattimura. Harus gambar
Christina Martha Tiahahu. Agak sulit mencarinya, terutama di pasar.
Sudah keluar masuk toko dan kios, tak juga ketemu. Ternyata, kaos
yang saya inginkan dijual di salah satu swalayan yang sudah kami
lewati beberapa kali. 3 potong kaos bergambar sang srikandi saya
beli.
Selanjutnya,
oleh-oleh makanan. Saya membeli beragam penganan yang terbuat dari
sagu di daerah Jalan Sait Perintah, Ambon. Namun sayang, ternyata
setelah dibawa pulang, makanan tadi tak terlalu cocok untuk lidah
orang Medan. So, jangan membeli terlalu banyak oleh-oleh penganan
berbahan sagu kalau ke Ambon karena tidak terlalu diminati orang
Medan.
Perjalanan
hari itu cukup melelahkan. Sayang, karena waktu yang sempit, tak
terlalu banyak lokasi yang bisa saya kunjungi. Tapi, cukuplah untuk
mendapat sedikit pemahaman tentang Ambon. Dari begitu banyak keunikan
Ambon, ada persamannya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia:
KRISIS ENERGI! Pemadaman bergilir terjadi setiap hari selama saya
berada di Ambon. Ternyata Ambon juga masih Indonesia. Hahaha.
Guide
To Ambon
How to
Get There
Cukup naik pesawat dari
Medan ke Jakarta dan lanjut ke Ambon. Penerbangan ke Ambon biasanya
tengah malam dan tiba pagi hari. Kalau tak ingin buang-buang waktu di
Jakarta, berangkatlah agak sore atau malam dari Medan.
What
to Do
Wisata pantai dan wisata kuliner. Jangan lupa membawa sun block
secukupnya, karena walaupun tak berenang, matahari di Ambon cukup
menyengat. Sebaiknya lupakan perjalanan dengan mobil, karena akan
mengurangi kenikmatan mata memandang keindahan pantai di Ambon dan
nikmati gosong alami kulit anda. Walaupun kuliner Ambon cita rasanya
jauh dari selera orang Medan (Indonesia Barat), tak ada salahnya
mencoba.
When
To Go
Any time.
Tapi kalau ingin melihat pemandangan Ambon yang lebih meriah dan
gemerlapan, tak ada salahnya datang di bulan Desember.
Where
To Stay
Ada
beberapa penginapan kecil dengan tarif berkisar Rp 150.000-200.000 di
pusat kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar