Tentang Blog Ini

Blog ini adalah rangkuman perjalanan saya ke berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri.

Minggu, 14 Desember 2014

AMBON, ABSOLUTELY MANISE!

Tulisan berikut ini pernah diterbitkan salah satu tabloid pada tahun 2011.

Manis, manis, manis. Ke manapun mata saya menjelajah di 8 penjuru angin Bandara Pattimura, semua yang terlihat dapat diberi label ‘MANIS’. Baik laki-laki atau perempuan. Tak salah sebutan 'Ambon Manise' itu rupanya.


Jam 06.30 WIT saya tiba di Ambon setelah terbang dari Jakarta pada pukul 00.50 tadi. Memakan waktu 3 jam penerbangan plus 2 jam lompatan waktu dari Indonesia Barat ke Indonesia Timur. Bingung, itu reaksi pertama saya saat akan mendarat tadi. Pesawat kami kelihatannya agak buang-buang waktu karena berputar mengitari pulau selama beberapa menit. Ternyata, memang begitu prosedurnya. Ambon, yang juga dikenal dengan nama Seram, berbentuk melingkar. Sehingga ketika akan mendarat, pesawat harus berputar terlebih dahulu.

Hutan alami di sekitar bandara sangat menyejukkan hati. Kontras benar dengan bandara-bandara di wilayah Indonesia Barat, terutama Bandara Polonia Medan yang memang berada di tengah kota. Pemandangan yang tersaji, kalau tak tembok bangunan, ya jalan raya.

Udara di sini agak gerah karena Ambon dikelilingi pantai di sepanjang pulaunya. Sekilas, Ambon mirip dengan Nias. Hanya saja, kalau ditilik lebih jauh, Ambon punya beragam produk pertanian, sayur dan buah-buahan yang mampu mensuplai kebutuhan masyarakatnya. Berbeda dengan Pulau Nias yang harus 'mengimpor' bahan makanan, terutama hasil pertanian, dari Sibolga.

Saya harus menunggu hampir tiga jam di bandara karena Bang Theo yang akan menjadi guide saya di sini baru bisa menjemput jam 8 pagi. Malangnya, ketika dalam perjalanan menuju bandara, ban sepeda motornya kempes. Apa boleh buat, saya menunggu sampai jam 9 pagi.

Dari bandara ke pusat kota, kami harus melewati setengah panjang pulau Seram. Di beberapa pojok jalan, saya tak melewatkan kesempatan untuk berfoto-foto. Sekitar satu jam, kami tiba di pusat kota yang terletak di seberang bandara. Sebagian penduduk, terutama mahasiswa Universitas Pattimura, menggunakan fasilitas kapal untuk menyeberang.

Transportasi Air yang Antimacet
Ada beberapa jenis kapal yang menyediakan jasa penyeberangan antara Sirimao (di pusat kota Ambon) dan Bagoala (di dekat Universitas Pattimura). Dulunya, hanya ada kapal layar yang mampu memuat 6 orang dengan bayaran Rp 1.000 setiap orang. Namun, kalau hendak berlayar sendirian maka harus membayar Rp 6.000. Jenis penyeberangan kedua adalah kapal feri. Keberadaan kapal feri ini, sebenarnya, merusak mata pencaharian para pemilik kapal layar karena lebih banyak orang yang menggunakan fasilitas feri, terutama karena feri juga mampu memuat sepeda motor, kendaraan yang umum dimiliki oleh masyarakat Ambon.
Saat ini, Pemda Ambon, tampaknya latah dengan Jembatan Suramadu, juga tak ketinggalan merintis jembatan yang kelak akan menghubungkan Sirimao-Bagoala. Mungkin kelak kita tak akan melihat kapal-kapal layar kecil aneka warna ini lagi. Padahal, kalau dicermati lagi, transportasi air seperti kapal layar dan kapal feri justru membagi konsentrasi kepadatan kendaraan di darat sehingga tak terlalu macet.

Mengenang Jasa Pahlawan Perempuan dari Ambon
Kalau bicara Ambon, mungkin kita akan selalu ingat pada sosok gagah di lembaran seribu rupiah, Kapitan Pattimura. Agak sedikit terlupa dengan sosok wanita gagah yang juga turun ke medan pertempuran pada zaman perang melawan kolonial Belanda, Christina Martha Tiahahu. Jika tak diingatkan oleh Bang Theo, saya pun pasti sudah melupakannya. Bahkan seorang teman yang sudah pernah ke Ambon tak tahu kalau di sini ada Taman Christina Martha Tiahahu. Taman tersebut berada di lokasi yang cukup strategis sehingga dapat melihat seluruh kota Ambon. Patung Christina menjulang kira-kira 8 m. Dibangun tahun 1977, sosok Christina tampak gagah sekaligus feminim, menunjukkan dua sisi unik kota Ambon.

Tragedi Kemanusiaan di Pulau Seram
Ambon, tak dapat dipungkiri adalah kota yang indah karena letak geografisnya. Garis pantai di sepanjang pulau dengan pasir putih di sebagian besar tepi pantai. Pantai Natsepa di Maluku Tengah, salah satunya. Masih bersih dan cukup sejuk karena banyak pepohonan di pinggirnya. Sementara di daratan, tekstur tanah cukup beragam sehingga bermacam tanaman, mulai tanaman tahunan sampai palawija tumbuh subur. Cantik, manise.

Namun, kalau menyebut Ambon, kita juga pasti teringat dengan kerusuhan besar yang terjadi sekitar 1999. Menurut Bang Theo, kejadian itu berawal dari pertengkaran antara seorang supir oto (angkot) dengan seorang preman yang minta uang pada si pengemudi oto. Karena tak rela dipalak, pengemudi oto itupun melawan sehingga terjadi perkelahian. Entah siapa yang menyulut, perkelahian biasa itu dipelintir dan dipolitisir menjadi konflik antaragama. Padahal, walau berbeda agama, pihak-pihak yang bertikai masih satu suku. Perbedaan agama memecah ikatan-ikatan yang lain. Persaudaraan, persahabatan, atas nama perbedaan agama, semuanya hilang. Saat saya tanya pada Bang Theo apakah ia juga ikut dalam perang antaragama saat itu, dengan wajah agak heran, ia menjawab, ”Ya pastilah.” ”Jadi berapa orang yang sudah abang bunuh waktu itu?” tanya saya lagi. ”Sekitar 10 orang,” jawabnya. Perut saya tiba-tiba mual, rasanya sulit membayangkan pria yang selalu bertutur kata halus ini bisa membunuh manusia sebanyak itu. Dan waktu itu, masih menurut Bang Theo, mereka menggunakan kelewang panjang, seperti yang dipakai Kapitan Pattimura, sebagai senjata. Jadi kalau bertempur, yang disasar adalah bagian leher agar musuh langsung mati. Betapa mengerikan.

Sampai sekarang, aura kerusuhan 10 tahun silam itu masih terasa. Sepanjang pulau Seram, masih terdapat puing-puing bangunan yang terbakar akibat kerusuhan yang belum diperbaiki. Selain itu, aparat keamanan dan pos-pos keamanan ada di setiap sudut pulau. Buatku, yang tak terbiasa dengan pemandangan loreng-loreng, justru terasa agak menakutkan.
Menikmati Wisata Kuliner Ambon
Karena kunjungan saya tepat di bulan Desember, kota Ambon sudah berhias sedemikian cantik. Pohon-pohon dan lampu natal nampak di sana-sini. Tapi, ada yang unik dengan pohon natal di sini. Warnanya tidak hijau tapi putih. Bahannya pun terbuat dari bahan yang mungkin tidak terbayangkan oleh para konsumen pohon natal pabrikan; dari sulur karung goni yang dijalin di kayu yang sudah dibentuk seperti dahan pohon.

Selain berwisata pantai dan mengunjungi Taman Christina Martha Tiahahu dan Taman Pattimura, tak lupa kami mencicipi makanan khas Ambon: nasi sagu yang disebut papeda. Siang itu kami memesan papeda, ikan bakar merah plus colo-colo (cocolan yang terbuat dari cili (cabai), bawang merah, tomat, dan lemon (jeruk nipis kecil yang di Medan dibuat sebagai pelengkap rasa untuk air kelapa muda). Sayurannya adalah kohu-kohu yang terbuat dari kelapa muda, sawi, kacang panjang, bawang merah, cabai merah, kacang tumbuk (kacang hijau yang direndam selama semalam dan dibungkus), dan lemon. Untuk minumnya, kami cari yang segar-segar: teh gula es (ini sebutannya untuk es teh manis-Jakarta dan sekitarnya, dan teh manis dingin/mandi yang kita kenal di Medan).

Sesuai dugaan, saya tak begitu suka dengan papeda karen teksturnya yang amat licin dan lebih mirip lem kanji. Bang Theo dengan nikmatnya menghabiskan papeda dengan cara makan yang unik: dua garpu dimasukkan ke dalam mangkuk papeda yang terbuat dari tembikar, kemudian diputar-putar agar papeda terjalin di antara dua garpu, kemudian dimakan dengan cara dihisap sampai habis (slrup, ah!) Sementara saya memesan keladi rebus sebagai pemasok karbohidrat untuk menambah tenaga. Biaya makan di sini tak terlalu mahal. Seporsi besar papeda dihargai Rp 5.000, sama dengan harga seporsi besar keladi rebus. Ikan bakar plus colo-colo hanya Rp 10.000, dan Rp 5.000 juga untuk kohu-kohu. Sehabis makan, kamipun melanjutkan perjalanan. Tak lupa saya mengucapkan terima kasih kepada si ibu penjual makanan. Apa ya ucapan terima kasih di Ambon? ”Danke,” ujar Bang Theo. ”Hah, bahasa Jerman ya” tanya saya heran . ”Mungkin, peninggalan bahasa Belanda yang dulu sempat lama menjajah Maluku,” jawabnya. ”Oh iya, mungkin juga. Karena baik dalam Bahasa Jerman maupun Belanda, terima kasih adalah danke,” jawab saya. Saya jadi teringat salah seorang teman kantor yang baru pulang dari studi di Belanda yang sangat gemar menggunakan kata ’danke’. Padahal, kalau hanya untuk mengucapkan ’danke’ saja kenapa harus jauh-jauh ke Belanda, cukup ke Ambon saja kan? Hehehe.

Namanya juga jalan-jalan, pasti tak lengkap kalau tak ada oleh-oleh. Pertama, saya mencari kaos oblong yang bertuliskan Ambon Manise. Tapi, saya tak mau yang bergambar Kepulauan Maluku atau Kapitan Pattimura. Harus gambar Christina Martha Tiahahu. Agak sulit mencarinya, terutama di pasar. Sudah keluar masuk toko dan kios, tak juga ketemu. Ternyata, kaos yang saya inginkan dijual di salah satu swalayan yang sudah kami lewati beberapa kali. 3 potong kaos bergambar sang srikandi saya beli.

Selanjutnya, oleh-oleh makanan. Saya membeli beragam penganan yang terbuat dari sagu di daerah Jalan Sait Perintah, Ambon. Namun sayang, ternyata setelah dibawa pulang, makanan tadi tak terlalu cocok untuk lidah orang Medan. So, jangan membeli terlalu banyak oleh-oleh penganan berbahan sagu kalau ke Ambon karena tidak terlalu diminati orang Medan.

Perjalanan hari itu cukup melelahkan. Sayang, karena waktu yang sempit, tak terlalu banyak lokasi yang bisa saya kunjungi. Tapi, cukuplah untuk mendapat sedikit pemahaman tentang Ambon. Dari begitu banyak keunikan Ambon, ada persamannya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia: KRISIS ENERGI! Pemadaman bergilir terjadi setiap hari selama saya berada di Ambon. Ternyata Ambon juga masih Indonesia. Hahaha.

Guide To Ambon
How to Get There
Cukup naik pesawat dari Medan ke Jakarta dan lanjut ke Ambon. Penerbangan ke Ambon biasanya tengah malam dan tiba pagi hari. Kalau tak ingin buang-buang waktu di Jakarta, berangkatlah agak sore atau malam dari Medan.

What to Do
Wisata pantai dan wisata kuliner. Jangan lupa membawa sun block secukupnya, karena walaupun tak berenang, matahari di Ambon cukup menyengat. Sebaiknya lupakan perjalanan dengan mobil, karena akan mengurangi kenikmatan mata memandang keindahan pantai di Ambon dan nikmati gosong alami kulit anda. Walaupun kuliner Ambon cita rasanya jauh dari selera orang Medan (Indonesia Barat), tak ada salahnya mencoba.

When To Go
Any time. Tapi kalau ingin melihat pemandangan Ambon yang lebih meriah dan gemerlapan, tak ada salahnya datang di bulan Desember.

Where To Stay
Ada beberapa penginapan kecil dengan tarif berkisar Rp 150.000-200.000 di pusat kota.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar