Tentang Blog Ini

Blog ini adalah rangkuman perjalanan saya ke berbagai tempat di Indonesia dan di luar negeri.

Rabu, 02 Juli 2014

Ke Timur Indonesia: Perjalanan Impian yang Hampir Kandas

Bagiku, traveling itu seperti bernafas. Kalau tak menjelajah dalam tempo yang cukup lama, rasanya menyesakkan. Berjalan: menjelajah dunia, bertemu orang-orang baru, menjalin persahabatan dengan banyak suku bangsa, menikmati keberagaman budaya, menyicip kuliner yang berbeda-beda, itulah mozaik yang menyusun kisah hidupku. Tapi lebih dari sekadar memperluas jejak kaki di luar sana, traveling adalah momen saat aku bisa menggali lebih lagi ke dalam diri sendiri. Saat harus menghadapi masalah, harus membuat keputusan sulit, saat tak ada orang yang dapat membantu, di situlah momen aku semakin mengenal siapa aku.
Beberapa waktu yang lalu, dalam sebuah wawancara di tv lokal Medan, aku ditanya kapan mulai menikmati kehidupan sebagai traveler. Saat itu, aku teringat pada masa kanak-kanak. Ibuku seorang guru SD. Setiap akhir tahun, ia mengajak aku dan kakak laki-lakiku untuk ikut di acara wisata perpisahan sekolah. Tujuannya masih di sekitar Sumatera Utara: Danau Toba, Berastagi, Bukit Lawang, dll. Sampai akhirnya waktu kelas V SD kami sekeluarga, setelah panen jeruk yang melimpah ruah, traveling ke Jakarta. Kala itu perjalanan pesawat masih sangat mahal. Kami menyewa mobil dan melakukan perjalanan 3 hari 2 malam untuk tiba ke Jakarta, demikian pula sebaliknya. Dari perjalanan di usia belia itu, aku menyadari betapa mengasikkannnya kegiatan traveling.

Beranjak remaja, aku jatuh cinta pada kegiatan Pramuka. Kegiatannya sih itu-itu saja, tapi hampir setiap bulan, aku bisa pergi-pergi, kemping ke tempat-tempat baru. Ada yang menyenangkan, ada pula yang sangat menyulitkan, bahkan tak jarang yang berbau horor. Dulu, kalau akan kemping, setiap siswa wajib meminta izin dari orang tua. Sekolah menyerahkan selembar kertas untuk ditandatangani. Waktu itu masih di tahun 1990-an. Aku tinggal di perbatasan Sumatera Utara-Aceh. Dan saat itu kondisi keamanan sering memanas karena ketegangan antara ABRI dan Gerakan Aceh Merdeka. Tapi dalam keadaan seperti itupun, bapak selalu mengizinkanku, anak perempuannya seorang, kemping ke setiap tempat yang dituju. Sampai bapak meninggalpun, aku tetap bebas untuk berpetualang.

SMA dan kuliah adalah masa yang cukup berat buatku dan keluarga. Kematian bapak membuyarkan rencanaku untuk sekolah dan kuliah di luar Sumut. Namun begitu, walau hanya ke tempat-tempat yang tak jauh dari rumah, aku tetap rajin jalan-jalan.

Tak lama setelah tamat kuliah, aku mendapatkan pekerjaan di Pulau Nias untuk program recovery bencana gempa dan tsunami. Tahun 2006 tepatnya. Posisiku sebagai kordinator media officer mengharuskan berkeliling pulau hampir setiap minggu. Mungkin banyak orang yang geleng-geleng kepala dengan pekerjaanku. Nias di tahun-tahun itu masih dianggap sebagai salah satu pulau yang angker karena kesan mistisnya. Lagi pula sebagai anak perempuan, sering kali pulau yang pada masa itu es krim saja tidak ada, dianggap tidak sanggup hidup di sana. Di situlah kesalahan mereka. Pulau tersebut sungguh indah. Traveler tak butuh es krim atau mal, pantai, pasir putih, budaya, dan orang-orangnya, sudah menggantikan semua itu.

Keindahan Nias pulalah yang membuatku bertekad kalau suatu saat kelak akan melakukan penjelajahan keliling Indonesia. Aku tahu itu sulit terwujud karena Indonesia terlalu luas. Tapi satu tekadku, aku akan membuat proyek dari Merauke sampai ke Sabang. Yah, memang dari Merauke sampai ke Sabang! Karena menurutku harusnya dari Timur-lah kita berjalan, dan berakhir di Barat.

Desember 2009, itu waktu yang kupilih untuk melakukan perjalanan ke Timur Indonesia. Aku sudah mengumpulkan gaji sejak awal tahun. Saat itu, aku sudah pindah ke Medan. Hidup di kota besar tidak mudah. Godaan materi terlalu banyak, barang-barang cantik, makanan, dan hiburan tersedia di mana-mana, dan ya menghisap budjet yang tidak sedikit. Tapi tekadku kuat. 50% gaji kusimpan setiap bulan, demi sebuah petualangan impian. Sampailah pada pertengahan tahun, masalah besar melilitku. Rumah Buku Medan, sebuah taman bacaan dan rental buku yang kudirikan bersama teman-teman kolektor buku, harus pindah ke tempat baru. Biayanya tidak sedikit. Dan tak ada yang punya cukup dana cadangan untuk menutupinya. Semua tahu kalau aku sudah mengumpulkan lumayan banyak uang untuk biaya perjalanan di akhir tahun. Antara perjalanan impian dan kelangsungan Rumah Buku, aku tak dapat memutuskan. Lama kutimbang dan kudengarkan semua saran. Sampai akhirnya kuputuskan menggunakan tabunganku untuk meneruskan Rumah Buku.

Tiket Medan-Jakarta-Ambon yang sudah di tangan hampir saja kubawa ke tukang pigura. Mau kubuatkan bingkai pertanda bahwa aku hampir berhasil mewujukan impian untuk traveling ke Timur Indonesia. Dalam kegalauan, antara senang karena Rumah Buku punya tempat baru yang lebih luas dan nyaman dan sedih karena perjalanan impianku akan segera kandas, aku berusaha tegar.

Namun aku beruntung punya malaikat yang selalu siap membantu. Sekitar dua minggu sebelum tanggal keberangkatan, ibuku menyuruhku untuk berangkat saja. Urusan uang, biar mamak bantu, begitu kira-kira kata-katanya. Sampai detik ini, mataku masih berkaca-kaca mengingat momen indah itu. Seumur hidup aku kenal ibuku, dia memang suka jalan-jalan. Tapi kondisi kesehatannya tak terlalu memungkinkan. Aku selalu merasa kalau melalui diriku, ia turut pergi ke manapun aku traveling. Dan itulah yang kurasakan setiap kali kaki menjejak ke tanah-tanah yang baru. Ibu ada turut bersamaku.

Karena ibuku, perjalan impian itupun berhasil kuwujudkan. Enam minggu lamanya aku traveling. Merauke, Jayapura, Makassar, Tana Toraja, Lombok, dan Bali, semua kujelajahi. Sampai saat ini, setiap mengingat momen berharga itu, tak pernah aku lupa mengucap syukur atas perjalanan itu, atas ibuku, atas indahnya Indonesia, atas semua pengalaman hidup yang pernah kulalui.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar