Bagiku, traveling itu seperti bernafas.
Kalau tak menjelajah dalam tempo yang cukup lama, rasanya
menyesakkan. Berjalan: menjelajah dunia, bertemu orang-orang baru,
menjalin persahabatan dengan banyak suku bangsa, menikmati
keberagaman budaya, menyicip kuliner yang berbeda-beda, itulah mozaik
yang menyusun kisah hidupku. Tapi lebih dari sekadar memperluas jejak
kaki di luar sana, traveling adalah momen saat aku bisa menggali
lebih lagi ke dalam diri sendiri. Saat harus menghadapi masalah,
harus membuat keputusan sulit, saat tak ada orang yang dapat
membantu, di situlah momen aku semakin mengenal siapa aku.
Beranjak remaja, aku jatuh cinta pada
kegiatan Pramuka. Kegiatannya sih itu-itu saja, tapi hampir
setiap bulan, aku bisa pergi-pergi, kemping ke tempat-tempat baru.
Ada yang menyenangkan, ada pula yang sangat menyulitkan, bahkan tak
jarang yang berbau horor. Dulu, kalau akan kemping, setiap siswa
wajib meminta izin dari orang tua. Sekolah menyerahkan selembar
kertas untuk ditandatangani. Waktu itu masih di tahun 1990-an. Aku
tinggal di perbatasan Sumatera Utara-Aceh. Dan saat itu kondisi
keamanan sering memanas karena ketegangan antara ABRI dan Gerakan
Aceh Merdeka. Tapi dalam keadaan seperti itupun, bapak selalu
mengizinkanku, anak perempuannya seorang, kemping ke setiap tempat
yang dituju. Sampai bapak meninggalpun, aku tetap bebas untuk
berpetualang.
SMA dan kuliah adalah masa yang cukup
berat buatku dan keluarga. Kematian bapak membuyarkan rencanaku untuk
sekolah dan kuliah di luar Sumut. Namun begitu, walau hanya ke
tempat-tempat yang tak jauh dari rumah, aku tetap rajin jalan-jalan.
Tak lama setelah tamat kuliah, aku
mendapatkan pekerjaan di Pulau Nias untuk program recovery bencana
gempa dan tsunami. Tahun 2006 tepatnya. Posisiku sebagai kordinator
media officer
mengharuskan berkeliling pulau hampir setiap minggu. Mungkin banyak
orang yang geleng-geleng kepala dengan pekerjaanku. Nias di
tahun-tahun itu masih dianggap sebagai salah satu pulau yang angker
karena kesan mistisnya. Lagi pula sebagai anak perempuan, sering kali
pulau yang pada masa itu es krim saja tidak ada, dianggap tidak
sanggup hidup di sana. Di situlah kesalahan mereka. Pulau tersebut
sungguh indah. Traveler tak butuh es krim atau mal, pantai, pasir
putih, budaya, dan orang-orangnya, sudah menggantikan semua itu.
Keindahan Nias
pulalah yang membuatku bertekad kalau suatu saat kelak akan melakukan
penjelajahan keliling Indonesia. Aku tahu itu sulit terwujud karena
Indonesia terlalu luas. Tapi satu tekadku, aku akan membuat proyek
dari Merauke sampai ke Sabang. Yah, memang dari Merauke sampai ke
Sabang! Karena menurutku harusnya dari Timur-lah kita berjalan, dan
berakhir di Barat.
Desember 2009, itu
waktu yang kupilih untuk melakukan perjalanan ke Timur Indonesia. Aku
sudah mengumpulkan gaji sejak awal tahun. Saat itu, aku sudah pindah
ke Medan. Hidup di kota besar tidak mudah. Godaan materi terlalu
banyak, barang-barang cantik, makanan, dan hiburan tersedia di
mana-mana, dan ya menghisap budjet yang tidak sedikit. Tapi tekadku
kuat. 50% gaji kusimpan setiap bulan, demi sebuah petualangan impian.
Sampailah pada pertengahan tahun, masalah besar melilitku. Rumah Buku
Medan, sebuah taman bacaan dan rental buku yang kudirikan bersama
teman-teman kolektor buku, harus pindah ke tempat baru. Biayanya
tidak sedikit. Dan tak ada yang punya cukup dana cadangan untuk
menutupinya. Semua tahu kalau aku sudah mengumpulkan lumayan banyak
uang untuk biaya perjalanan di akhir tahun. Antara perjalanan impian
dan kelangsungan Rumah Buku, aku tak dapat memutuskan. Lama kutimbang
dan kudengarkan semua saran. Sampai akhirnya kuputuskan menggunakan
tabunganku untuk meneruskan Rumah Buku.
Tiket Medan-Jakarta-Ambon yang sudah di tangan hampir saja kubawa ke tukang pigura. Mau kubuatkan bingkai pertanda bahwa aku hampir berhasil mewujukan impian untuk traveling ke Timur Indonesia. Dalam kegalauan, antara senang karena Rumah Buku punya tempat baru yang lebih luas dan nyaman dan sedih karena perjalanan impianku akan segera kandas, aku berusaha tegar.
Namun aku beruntung punya malaikat yang selalu siap membantu. Sekitar dua minggu sebelum tanggal keberangkatan, ibuku menyuruhku untuk berangkat saja. Urusan uang, biar mamak bantu, begitu kira-kira kata-katanya. Sampai detik ini, mataku masih berkaca-kaca mengingat momen indah itu. Seumur hidup aku kenal ibuku, dia memang suka jalan-jalan. Tapi kondisi kesehatannya tak terlalu memungkinkan. Aku selalu merasa kalau melalui diriku, ia turut pergi ke manapun aku traveling. Dan itulah yang kurasakan setiap kali kaki menjejak ke tanah-tanah yang baru. Ibu ada turut bersamaku.
Tiket Medan-Jakarta-Ambon yang sudah di tangan hampir saja kubawa ke tukang pigura. Mau kubuatkan bingkai pertanda bahwa aku hampir berhasil mewujukan impian untuk traveling ke Timur Indonesia. Dalam kegalauan, antara senang karena Rumah Buku punya tempat baru yang lebih luas dan nyaman dan sedih karena perjalanan impianku akan segera kandas, aku berusaha tegar.
Namun aku beruntung punya malaikat yang selalu siap membantu. Sekitar dua minggu sebelum tanggal keberangkatan, ibuku menyuruhku untuk berangkat saja. Urusan uang, biar mamak bantu, begitu kira-kira kata-katanya. Sampai detik ini, mataku masih berkaca-kaca mengingat momen indah itu. Seumur hidup aku kenal ibuku, dia memang suka jalan-jalan. Tapi kondisi kesehatannya tak terlalu memungkinkan. Aku selalu merasa kalau melalui diriku, ia turut pergi ke manapun aku traveling. Dan itulah yang kurasakan setiap kali kaki menjejak ke tanah-tanah yang baru. Ibu ada turut bersamaku.
Karena ibuku, perjalan impian itupun berhasil kuwujudkan. Enam minggu lamanya
aku traveling. Merauke, Jayapura, Makassar, Tana Toraja, Lombok, dan
Bali, semua kujelajahi. Sampai saat ini, setiap mengingat momen
berharga itu, tak pernah aku lupa mengucap syukur atas perjalanan itu, atas ibuku, atas indahnya Indonesia, atas semua pengalaman hidup yang pernah kulalui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar