Kota Bangkok bagi
para traveler mungkin sebuah destinasi yang biasa-biasa saja.
Letaknya cukup dekat, terutama dari Medan, hanya sekitar dua jam
perjalanan udara, bahkan tidak ada perbedaan waktu antara Bangkok dan
Medan. Perjalananku bersama Eka, juga sebenarnya tidak ada yang unik.
Kami booking tiket pesawat
hampir sekitar setahun sebelumnya dan melakukan perjalanan pada 7
Januari 2014 silam. Hanya 5 hari saja, jadi terbilang cukup singkat.
Satu-satunya hal yang membuat deg-degan adalah situasi politik di
kota Bangkok menjelang keberangkatan kami. Untunglah, kami punya
teman di Bangkok, seorang pekerja media, yang sangat informatif.
Berhubung kami di Bangkok hanya dari tanggal 7 sampai 11 Januari,
kata Mike, teman kami itu, suasana masih cukup aman. Tetapi
setelahnya, bisa berbahaya karena pada 13 Januari para demonstran
anti-pemerintah akan melumpuhkan kota Bangkok.
Secara
keseluruhan, Bangkok tampaknya lebih kecil dari Jakarta. Mungkin
hanya seluas Medan. Kota ini juga punya problem yang sama dengan
kota-kota besar lainnya di Asia: macet. Beruntung kami tidak sering
terjebak dalam lautan kendaraan selama di kota ini. Di kawasan pusat
turis, Khao San Road, kami menginap. Mike, teman kami, sudah
membuking kamar seharga 600 Bath, atau sekitar Rp 250 rb. Fasilitas
yang tersedia: AC, water heater,
serta tv. Tiba di hotel, ternyata resepsionis tidak bisa melacak
kamar yang sudah dipesan tersebut. Alhasil, kami disodori selembar
kertas dilaminating yang sudah agak lusuh. Isinya tipe-tipe kamar
yang tersedia. Ternyata, ada kamar untuk 2 orang yang lebih murah,
hanya 450 Bath saja, hanya saja tidak ada ac, water heater
ataupun tv. Dasar turis kere, yang penting murah, fasilitas minim,
it's ok. Kamipun memesan kamar tersebut untuk 2 hari.
Malam
pertama di Bangkok, kami bertemu Mike dan pacarnya Aom yang langsung
kami panggil aunty,
karena Mike selalu kami panggi uncle,
lol. Mereka mengajak kami berkeliling dengan berjalan kaki,
menunjukkan jalan untuk beberapa destinasi yang kira-kira ingin kami
jelajahi, dan mengajak kami ke Democracy Monument, yang dengan
seenaknya kami sebut Demonstration Monument karena tempat itu
merupakan pusat berkumpulnya para demonstran anti-pemerintah. Sampai
tengah malam, masih ada saja orasi yang dilakukan di atas panggung
yang cukup megah untuk pertunjukan musik profesional. Tenda-tenda
juga didirikan agar para demonstran yang datang dari jauh dapat
menginap di tempat itu. Masing-masing pendemo membawa perlengkapan
tidur dan pernak-pernik demo lainnya seperti pluit, bendera, dll.
Kalau
dibandingkan, fasilitas demonstrasi di Bangkok, jauh lebih nyaman
ketimbang yang diterima oleh para pengungsi korban bencana di
Indonesia. Di sepanjang jalan ada beberapa mobile toilet,
ada pula fasilitas parkir bagi para demonstran yang membawa
kendaraan. Dan yang paling hebat, mereka menyediakan fasilitas
makanan prasmanan yang disajikan di tenda-tenda sekitar Monumen
Demokrasi. Kata Mike, kalau mau makan gratis, kami tinggal datang
saja pada jam-jam makan. Sayangnya, kami tiba sudah jam 11 malam,
booth makanan sudah
tutup, tetapi air mineral botolan masih bertimbun di beberapa titik.
Mike mengambil tiga botol untuk kami. Lumanyan, air minum gratis.
Tersedianya berbagai fasilitas ini tidak terlepas dari dukungan para
pebisnis besar di Thailand, termasuk pemilik merk bir paling terkenal
di negara gajah putih itu. Sayang, mereka tidak menyediakan produk
tersebut secara gratis, hahaha...
Kami mengakhiri perjalanan di sekitar tempat demonstrasi sekitar
tengah malam. Mike dan Aom memberikan instruksi agar tak melewati
jalan-jalan tertentu karena khawatir terjadi tindakan kekerasan.
Kekhawatiran Mike cukup beralasan karena walau wisman, kulit kami dan
orang Thailand, sangat mirip. Bisa-bisa, kami menjadi korban salah
sasaran.
Ketakutan
terhadap tindakan kekerasan tidak kami hiraukan sampai pada hari
ke-4, Eka yang antara sadar dan tertidur mendengar bunyi letusan
senjata api. Paginya ia ceritakan padaku, dan dengan santai aku
katakan bahwa itu hanya suara petasan. Tak berapa lama setelahnya,
Mike mengirimkan kabar bahwa malam itu terjadi penembakan oleh OTK di
dekat kawasan tempat kami menginap. Wah..., cukup membuat bulu kuduk
merinding. Tapi, kami hanya sejenak mengingatnya, dan kembali
menikmati Bangkok. Atas saran Mike dan mungkin juga karena eforia
demonstrasi, kamipun membeli beberapa t-shirt yang kata Mike nantinya
akan jadi limited edition.
T-shirt tersebut bertuliskan Bangkok Shut Down January 13, 2014. Kami
menghadiahkan t-shirt tersebut kepada beberapa orang tercinta. Tentu
saja orang-orang tersebut tidak pergi ke Bangkok dengan menggunakan
pakaian tersebut, karena saat ini, siapapun yang menggunakan baju
Bangkok Shut Down, dapat menjadi sasaran tembak dan aksi kekerasan
lainnya. Wuih....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar