Kota Ambon itu berada di pulau yang bentuknya seperti anak bebek yang lagi berenang. Sebagian wilayahnya, ada di bagian badan, sebagian lagi ada di bagian sayap, dan sebagian lagi ada di bagian kepala. Dan antara badan dan sayapnya, dipisahkan oleh Selat Ambon yang langsung terhubung dengan Laut Banda. Jadi, karena kondisi yang demikian, perjalanan dari satu tempat yang berada di utara pulau ke tempat yang ada di selatan, lebih cepat dan hemat dengan menggunakan moda transportasi air.
Saya ditemanin Bang Theo, teman yang jadi guide saya di Ambon, pun mencoba transportasi laut di kota ini. Kami naik feri dari Sirimao yang berada di selatan pulau menuju Bagoala di bagian utara. Waktu itu (Desember 2009) ongkos untuk orang dewasa hanya Rp 2 ribu. Perjalanan hanya memakan waktu 10 menit. Di dalam feri ini, saya bertemu dengan beberapa mahasiswa yang akan kuliah di Universitas Pattimura.
Dulu, sebelum ada feri, ada moda transportasi lainnya yang dipakai masyarakat setempat, yaitu kapal layar. Tapi, kapal layar ini bentuknya kecil dan hanya memuat 6 penumpang. Sementara feri, selain memuat lebih banyak penumpang, juga dapat memuat motor dan mobil. Para mahasiswa yang masih harus menggunakan transportasi darat dari pelabuhan menuju kampus, lebih suka naik feri ketimbang kapal layar.
Sebenarnya, saya juga ingin mencoba naik kapal layar ini. Tapi, karena kami sudah terlanjur menggunakan sepeda motor, jadi terpaksa saya urungkan niat untuk berlayar, mungkin lain kali.
Waktu saya berkunjung ke Ambon, kebetulan sudah dekat dengan perayaan natal. Kota Ambon, seperti kota-kota di Indonesia bagian timur, berhias habis-habisan. Banyak rumah dan tempat ibadah yang memasang lampu-lampu kerlap-kerlip. Selain menghias rumah, masyarakat setempat juga memasang pohon-pohon natal di pinggir jalan. Tapi, jangan bayangkan kalau pohon natal di kota ini berwarna hijau. Di sini, pohon natal berwarna putih. Bentuknya juga bukan seperti pohon pinus, tetapi berumbai-rumbai. Yup, mereka membuat pohon natal dari bahan tali goni plastik. Rumbai-rumbainya cukup panjang, dililitkan di kayu yang menjulang tinggi sampai lebih dari 5 meter. Enggak terbayang lamanya waktu yang diperlukan untuk membuat satu pohon natal saja. Dan, ada puluhan pohon natal seperti itu sepanjang jalan di kota Ambon.
Peta Ambon (di-download dari mesin pencari google) |
Saya ditemanin Bang Theo, teman yang jadi guide saya di Ambon, pun mencoba transportasi laut di kota ini. Kami naik feri dari Sirimao yang berada di selatan pulau menuju Bagoala di bagian utara. Waktu itu (Desember 2009) ongkos untuk orang dewasa hanya Rp 2 ribu. Perjalanan hanya memakan waktu 10 menit. Di dalam feri ini, saya bertemu dengan beberapa mahasiswa yang akan kuliah di Universitas Pattimura.
Kapal feri dari Sirimao ke Bagoala |
Kapal layar yang masih dipergunakan masyarakat Ambon |
Waktu saya berkunjung ke Ambon, kebetulan sudah dekat dengan perayaan natal. Kota Ambon, seperti kota-kota di Indonesia bagian timur, berhias habis-habisan. Banyak rumah dan tempat ibadah yang memasang lampu-lampu kerlap-kerlip. Selain menghias rumah, masyarakat setempat juga memasang pohon-pohon natal di pinggir jalan. Tapi, jangan bayangkan kalau pohon natal di kota ini berwarna hijau. Di sini, pohon natal berwarna putih. Bentuknya juga bukan seperti pohon pinus, tetapi berumbai-rumbai. Yup, mereka membuat pohon natal dari bahan tali goni plastik. Rumbai-rumbainya cukup panjang, dililitkan di kayu yang menjulang tinggi sampai lebih dari 5 meter. Enggak terbayang lamanya waktu yang diperlukan untuk membuat satu pohon natal saja. Dan, ada puluhan pohon natal seperti itu sepanjang jalan di kota Ambon.
Saya berdiri di samping pohon natal berbahan goni plastik putih |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar